Menu

Melacak Dampak Keagamaan dan Sosial bagi Pasangan yang Menunda Pernikahan Resmi

Melacak Dampak Keagamaan dan Sosial bagi Pasangan yang Menunda Pernikahan Resmi

Seorang ibu bercerita tentang kehidupan keluarganya yang selama ini tidak bahagia. Sudah 18 tahun mereka hidup serumah, punya empat orang anak, namun belum mengurus perkawinan secara Katolik. Alasannya, belum menyelesaikan adat istiadat yang menjadi tuntutan keluarga, dan tidak punya biaya cukup untuk pesta nikah.
Cerita di atas merupakan fenomena yang tidak asing di kalangan masyarakat. Tentu, masih ada banyak peristiwa lain yang serupa. Banyak pasangan “terpaksa” menunda pernikahan resmi karena tuntutan adat istiadat dan biaya pesta. Padahal, penundaan pernikahan itu membawa konsekuensi bagi pasangan sendiri serta anak-(anak) mereka, khususnya dalam konteks keagamaan dan sosial.

Ada banyak alasan pasangan menunda upacara pernikahan. Dua alasan berikut mungkin menjadi fenomena yang sering dialami oleh pasangan calon nikah. Kedua alasan itu yakni tuntutan adat istiadat dan biaya pesta pernikahan. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan alasan penundaan pernikahan sekaligus solusinya, dan konsekuensi penundaan pernikahan resmi bagi pasangan serta anak-(anak)nya.

Tuntutan Adat Istiadat 

Pada dasarnya adat istiadat itu baik. Masalahnya adalah pelaksanaannya, misalnya pembayaran belis (mahar) sering menjadi halangan bagi pasangan yang hendak menikah secara agama. Praktik pembayaran belis sebagai persyaratan untuk pernikahan adalah bagian dari tradisi dan budaya di berbagai masyarakat. Bagi masyarakat patrilineal, belis merupakan suatu bentuk pembayaran atau kompensasi yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau keluarganya sebagai bagian dari proses pernikahan.

Praktik pembayaran belis dan waktu pembayarannya dapat bervariasi secara signifikan antara budaya dan komunitas. Dalam beberapa masyarakat, pembayaran belis dilakukan sebelum atau selama upacara pernikahan, sebagai bagian dari persiapan dan perjanjian antara kedua belah pihak. Akan tetapi, pada masyarakat lain, terutama di beberapa bagian Asia dan Afrika, pembayaran belis dapat ditunda hingga setelah pernikahan atau bahkan bertahun-tahun sesudahnya.

Ada beberapa alasan mengapa pembayaran belis bisa ditunda hingga setelah pernikahan.

Kemampuan Finansial
Beberapa keluarga mungkin tidak mampu membayar belis secara langsung sebelum pernikahan karena keterbatasan finansial. Dalam kasus ini, pembayaran belis dapat ditunda hingga kemampuan finansial keluarga memungkinkan.

Kesepakatan Keluarga
Dalam beberapa kasus, pembayaran belis menjadi bagian dari perjanjian antara keluarga calon pengantin. Pembayaran dapat ditunda hingga setelah pernikahan, sebagai bagian dari kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Stabilitas Pernikahan
Menunda pembayaran belis hingga setelah pernikahan dapat membantu memelihara stabilitas pernikahan. Dengan menyelesaikan belis setelah pernikahan, pasangan lebih fokus membangun rumah tangga dan menyesuaikan diri dengan peran baru mereka sebelum menangani aspek keuangan dari pernikahan.

Kemudahan Pelaksanaan
Menunda pembayaran belis hingga setelah pernikahan dapat mempermudah administrasi dan logistik pernikahan, terutama jika ada persyaratan hukum atau prosedur khusus yang harus diikuti.

Alasan Biaya Pernikahan

Penundaan upacara pernikahan karena kurangnya dana pesta adalah situasi yang umum terjadi di banyak masyarakat. Tidak adanya dana yang memadai untuk pesta pernikahan dapat menjadi beban yang berat bagi pasangan yang hendak menikah. Tetapi, ada beberapa solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini.

Mengurangi Skala Pesta
Salah satu solusi yang langsung adalah mengurangi skala pesta pernikahan. Pasangan dapat mempertimbangkan untuk pesta yang lebih sederhana dan terjangkau, dengan mengurangi jumlah tamu, memilih lokasi yang lebih sederhana, atau mengurangi biaya dekorasi dan hiburan.

Mencari Sumber Dana Tambahan
Pasangan dapat berusaha mencari sumber dana tambahan untuk biaya pernikahan, melalui tabungan pribadi, pinjaman dari keluarga atau teman.

Mempertimbangkan Alternatif yang Lebih Murah 
Selain mengadakan pesta pernikahan tradisional, pasangan juga dapat mempertimbangkan alternatif yang lebih murah, seperti pernikahan sederhana di kantor catatan sipil, resepsi yang lebih kecil di rumah, atau memilih untuk tidak mengadakan pesta, dan hanya mengadakan upacara pernikahan secara meriah dari segi keagamaan.

Menyewa atau Meminjam Barang 
Pasangan juga dapat mempertimbangkan menyewa atau meminjam barang-barang yang diperlukan untuk pesta pernikahan, seperti gaun pengantin, dekorasi, atau peralatan audio-visual.

Menyusun Anggaran yang Jelas 
Penting bagi pasangan untuk menyusun anggaran yang jelas dan realistis untuk biaya pernikahan, serta membuat prioritas pengeluaran. Dengan demikian, pasangan dapat memastikan bahwa mereka dapat mengadakan pernikahan yang berkesan tanpa harus terlilit utang.

Konsekuensi Keagamaan dan Sosial

Menunda upacara pernikahan sebagai prasyarat untuk memasuki kehidupan rumah tangga memiliki beberapa konsekuensi, terutama dalam konteks keagamaan dan sosial. Berikut, beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi.

Aspek Keagamaan 
Dalam beberapa agama, pernikahan merupakan institusi suci. Menunda pernikahan atau hidup bersama tanpa ikatan resmi bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini dapat memengaruhi hubungan pasangan dengan komunitas agamanya, serta memengaruhi partisipasi mereka dalam ritual keagamaan tertentu. Dalam ajaran Katolik misalnya, pasangan yang belum diresmikan tidak diperkenankan menerima Sakramen Tobat maupun Ekaristi.

Status Hukum
Menunda pernikahan atau hidup bersama tanpa ikatan resmi dapat berimplikasi hukum, terutama hak dan kewajiban pasangan terhadap satu sama lain. Di Indonesia (Kantor Dukcapil Kemendagri), anak yang dilahirkan di luar nikah dapat dicatat akta kelahirannya, tetapi hanya dicantumkan nama ibunya; dalam kartu keluarga nama ayahnya dicatat sebagai famili lain. Di beberapa yurisdiksi, pasangan yang belum menikah tidak memiliki hak yang sama seperti pasangan yang sah, misalnya hak waris, hak perumahan, atau hak asuransi.

Status Sosial
Pada masyarakat tertentu, pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan nikah mungkin menghadapi stigma sosial atau diskriminasi. Hal ini dapat memengaruhi bagaimana mereka diperlakukan oleh keluarga, teman, atau masyarakat secara umum.

Konsekuensi bagi Anak-(Anak)
Jika pasangan memiliki anak-(anak) sebelum menikah, penundaan pernikahan dapat memengaruhi status hukum dan sosial anak-(anak). Mereka yang lahir dari orang tua yang tidak menikah mungkin menghadapi kompleksitas memperoleh hak-hak dan tunjangan tertentu, serta mengalami stigmatisasi sosial.
Pendidikan dan Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga yang stabil dan harmonis merupakan faktor penting dalam perkembangan anak-(anak). Menunda pernikahan atau hidup bersama tanpa ikatan nikah akan memengaruhi stabilitas dan keamanan lingkungan keluarga. Pada gilirannya, dapat pula memengaruhi perkembangan dan kesejahteraan anak-(anak).

Penutup

Uraian di atas bermuara pada kesimpulan berikut. Praktik pembayaran belis (mahar) dan waktu pembayarannya dapat bervariasi secara signifikan antara budaya dan masyarakat. Tidak ada aturan baku untuk semua situasi. Artinya, keputusan terkait dengan belis dan pernikahan harus berdasarkan kesepakatan dan pemahaman yang jelas antara kedua belah pihak. Perlu pula memperhatikan kebutuhan dan keinginan pasangan yang menikah. 

Pesta pernikahan yang mahal bukanlah syarat mutlak bagi pernikahan yang bermakna dan bahagia. Pernikahan itu mencerminkan kepribadian, nilai-nilai, dan visi pasangan yang menikah. Mereka dapat merayakan cinta dan komitmen satu sama lain dengan cara yang sesuai dengan kondisi keuangan mereka.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan pasangan menunda pernikahan resmi. Tetapi, perlu dipertimbangkan konsekuensi potensial dari keputusan tersebut, terutama dalam hal agama, status hukum, dan kesejahteraan anak-(anak). Komunikasi terbuka dan pemahaman yang mendalam tentang implikasi dari setiap keputusan adalah kunci untuk mengelola situasi ini dengan bijaksana.

Tidak ada solusi permanen dalam menangani masalah penundaan pernikahan. Dengan komunikasi yang terbuka, kerja sama keluarga, dan kesediaan untuk mencari solusi bersama, pasangan dapat menemukan solusi secara memadai, yang memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Selain itu, pemerintah maupun institusi keagamaan tetap memegang peran strategis dalam upaya mengatasi persoalan penundaan upacara pernikahan.

Kontributor: Agustinus Gereda. Dilahirkan di Lamanuna (Lembata-NTT), 29 Agustus 1959. Menyelesaikan pendidikan S1 di STFK Ledalero Flores (sekarang IFTK); Magister Bahasa Indonesia di Unhas Makassar. Sampai dengan 2005 mengajar di beberapa sekolah: SMA Seminari San Dominggo Hokeng Flores, SMA Hasanuddin Gowa Sulsel, SMK St. Antonius Merauke, SMA Yoanes XXIII Merauke. Hingga saat ini mengajar di Unmus Merauke, membantu di STK St. Yakobus Merauke, dan Tim Kerja Komisi Keluarga Keuskupan Agung Merauke. Selain buku nonfiksi, ia juga menghasilkan karya berupa artikel, esai, cepen, dan pusi, yang termuat dalam buku Kapur & Papan (Lingkarantarnusa Yogyakarta, 2015-2020). Dua kisah termuat dalam [Bukan] Sebatas Kenangan “Piagam Penghargaan”, dan Persimpangan Jalan “Juara Bertahan” (Zahir Publishing Yogyakarta, 2023). Kisah lain “Doa Tak Kunjung Putus” dalam Pijar Pelita Hati (Alineaku Publisher Yogyakarta, 2023). Kisah terbaru yang diterbitkan Zahir Publishing: “Kasih Sayang Sang Bunda” dalam Ibu, Aku Ingin Bercerita (2023) dan “Pengorbanan yang Timbal Balik” dalam Melukis Cinta (2024). Puluhan opini atau esai termuat dalam SuryaPapua.com (2022-2024). HP/WA: 0813-4494-8359. Email : geredaliterasi18@gmail.com