Menu

Stigma dan Kesehatan Mental

Stigma dan Kesehatan Mental

Anda tentu pernah mendengar pernyataan seperti ini, “Ah, namanya juga perempuan, tentu butuh waktu berjam-jam untuk merias diri.”

Ini adalah contoh sederhana dari stigma yang dilekatkan pada kaum perempuan, yaitu selalu memakan waktu sekian jam untuk mematut diri. Ada kesan negatif dan merendahkan perempuan di sana.

Contoh lain adalah, “Hati-hati naik kendaraan umum merah itu. Jaga tasmu baik-baik. Supir dan kondekturnya bertato.” Ini juga stigma negatif yang dilekatkan pada pemuda bertato sebagai sosok jahat sehingga patut diwaspadai. 

***

Apa itu stigma?

Pelekatan stigma masuk ke dalam fenomena sosial dalam batasan bahwa dia adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat diamati. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sementara itu, dikutip dari tulisan ilmiah yang dikeluarkan oleh Universitas Muhammadyah Surabaya (2020), Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa stigma merupakan tindakan memberikan label sosial yang bertujuan mencemari atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan pandangan buruk. Artinya, stigma adalah penilaian sosial yang bersifat negatif yang dilekatkan pada seseorang yang memiliki karakteristik tertentu. Tujuannya beragam, antara lain adalah mendiskreditkan seseorang.

Bagaimana stigma terbentuk?

Stigma muncul karena adanya perilaku yang ditimbulkan manusia di dalam suatu interaksi sosial yang rumit. Individu atau masyarakat umumnya dengan cepat memberikan penilaian baik atau buruk pada seseorang atau sekelompok orang berdasarkan perilakunya tanpa didasari pemahaman menyeluruh terlebih dahulu atas perilaku tersebut. Permusuhan warga antarkampung yang berbeda latar belakang suku bukanlah persoalan sosial yang sederhana, tetapi dengan mudah dilekatkan stigma atau penilaian negatif sebagai kampung “Panas Membara", misalnya.

Dikutip dari tulisan ilmiah yang dikeluarkan oleh Universitas Bina Sehat PPNI, Scheid & Brown menjabarkan bahwa stigma terbentuk melalui proses berikut:

1. Pelabelan, yaitu pemberian kata atau kumpulan kata pada seseorang yang berperilaku tertentu. Label “Si Badut” dikenakan pada seseorang yang sering membuat lelucon atau tawa di antara teman; atau “Sumbu Halus” pada sekelompok orang yang bereaksi cepat atas hinaan yang ditujukan pada suku atau agama yang mereka anut. 

2. Stereotipe, yaitu kelanjutan dari pelabelan berupa keyakinan sekelompok orang atas sekelompok orang lain yang sifatnya menggeneralisasi. Stereotipe “Perantau” atau “Pedagang” yang dikenakan pada masyarakat suku Minangkabau, misalnya. 

3. Pemisahan, tahapan selanjutnya yang mempolarisasi antara kami (yang memberi label) dan mereka (yang diberi label).

4. Diskriminasi, yaitu efek lanjutan adanya pelabelan dan stereotipe berupa perbedaan perlakuan dari masyarakat. Stigma negatif pada orang dengan HIV/AIDS menciptakan perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap mereka, misalnya dengan tidak mau bersalaman karena takut tertular.

Dapat disimpulkan bahwa stigma sudah terbentuk ketika kita memiliki sikap negatif, seperti prasangka, memberi label, dan menghasilkan generalisasi yang diterapkan pada orang dalam kelompok sosial yang memiliki karakteristik tertentu. 

Gangguan jiwa

Manusia terdiri dari dua kualitas–fisik dan mental atau jasmani dan rohani. Keduanya saling berhubungan. Apa yang terjadi pada fisik akan berdampak pada psikis dan, sebaliknya, apa yang terjadi pada psikis berdampak juga ada fisik. Dalam batasan yang sederhana, fisik atau jasmani adalah bagian dari diri manusia yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, tercium oleh hidung, terasa oleh lidah, atau teraba oleh permukaan kulit. Contohnya adalah tubuh kita yang terlihat–wajah, badan, kaki, tangan, bagian dalam tubuh, atau perilaku. Fisik kita bisa terserang penyakit, misalnya gagal ginjal atau penyempitan pembuluh darah. 

Di sisi lain, psikis atau rohani adalah bagian dari manusia yang tidak terlihat dan tidak teraba, seperti emosi atau pikiran, yang mendasari perilaku yang terlihat. Perasaan sedih terlihat dari perilaku menangis; perasaan senang dari perilaku tertawa, atau perasaan takut dari tangan dan kaki yang gemetar. Depresi, keterpakuan pikiran sehingga mengakibatkan insomnia adalah contoh dari sakit atau gangguan yang mengenai psikis.

Lebih jauh lagi, sisi psikis manusia–alam pikiran, alam sadar, alam bawah sadar–begitu luas, gelap, dan rumit. Perilaku yang tampak oleh mata hanyalah puncak gunung es yang terlihat di permukaan laut; sementara bagian yang tidak terlihat, yang ada di bawah permukaan, begitu luas dan gelap. Gangguan jiwa adalah bagian dari alam yang luas, gelap dan rumit itu, yang dijabarkan sebagai gangguan fungsi diri–pikiran, emosi, perilaku, dan selanjutnya memengaruhi fungsi sosial seseorang. Gangguan itu dapat berupa depresi, gangguan bipolar, skizofrenia dan psikosis, demensia, dan gangguan perkembangan, yang pada akhirnya mengganggu keberfungsian individu dalam lingkungan sosialnya. 

Penyebab gangguan jiwa beragam. Pengalaman traumatis dan mengguncang seperti kematian anggota sentral dalam keluarga, unsur genetik atau keturunan, unsur fisiologis yang terdeteksi dari ketidaknormalan produksi hormon di otak, atau pola pengasuhan di masa kecil, adalah di antara penyebabnya. Maka, siapa pun sesungguhnya berpotensi mengalami gangguan jiwa, ringan, sedang atau berat. Tidak ada orang dunia ini yang tidak pernah mengalami stres atau peristiwa menyakitkan dan traumatis, bukan? Kadar ketahanan dan kapasitasnya saja yang membedakan, sehingga reaksinya terhadap tantangan, ujian, atau hantaman traumatis juga berbeda. 

Stigma pada gangguan jiwa dan penderitanya

Selain terhadap ras, warna kulit, jenis kelamin, stigma acapkali dikenakan pada karakteristik individual lainnya, yaitu gangguan atau penyakit kejiwaan dan penderitanya. 

Dua orang perempuan muda sedang berbincang. 

“Aku ingin konsultasi ke psikiater. Sudah beberapa minggu belakangan aku susah tidur, selalu resah, seperti ada yang mengejar,” kata perempuan berkacamata.

Temannya yang berambut sepundak merespons, “Hah, tidak malu? Kamu kan tidak gila, mengapa berobat ke dokter jiwa?”

Ini adalah contoh sederhana dan sering kita dengar tentang stigma yang terkait dengan gangguan jiwa, bahwa berobat ke psikiater adalah hal memalukan atau psikiater adalah dokternya orang gila. Padahal, tidak demikian.

Mengutip batasan yang dikemukakan institusi kesehatan New South Wales, Australia, pada lamannya, stigma terhadap gangguan jiwa adalah tanda, noda, atau cacat. Mitos, kesalahahaman, ketidakperdulian, dan sikap negatif menghasilkan stigma yang dilekatkan pada orang yang hidup dengan kondisi kesehatan mental tertentu. Mereka seringkali dipandang dan diperlakukan sebagai bahaya, berbeda atau di bawah kapasitas orang lain. Bagaimanapun, stigma masih tetap menjadi tantangan yang signifikan dalam dunia kesehatan mental, khususnya bagi pemulihan dan tercapainya kesejahteraan psikologis individu yang mengalami gangguan mental. Dia menciptakan jarak antara “kita” dari “mereka”. Ketika seseorang dilabel lewat penyakit yang dideritanya, mereka tidak lagi dilihat sebagai individu secara objektif, tetapi bagian dari kelompok yang diberi label tersebut atau stereotipe. Penderita HIV/AIDS seringkali tidak dilihat sebagai individu yang menderita sakit, tetapi penganut seks bebas, misalnya. 

Tiga kategori stigma pada orang dengan gangguan jiwa

Terkait stigma pada orang dengan gangguan jiwa, American Psychiatric Association (APA) menjelaskan bahwa secara umum ada tiga jenis stigma, yaitu:

1. Stigma publik yang berupa sikap negatif atau diskriminatif yang melekat dalam pikiran masyarakat tentang sakit mental atau gangguan jiwa. Seperti yang diuraikan di atas, gangguan jiwa adalah penyakit terkutuk dan membahayakan keamanan masyarakat.

2. Stigma atas diri sendiri yang menunjukkan sikap negatif, termasuk rasa malu yang terinternalisasi, yang dimiliki oleh orang dengan gangguan mental tentang kondisi diri mereka. Pandangan bahwa saya tidak gila, hanya ingin menyendiri. Jadi, untuk apa berobat ke dokter jiwa, adalah stigma yang diterapkan pada diri sendiri yang pada akhirnya menghalangi proses penyembuhan.

3. Stigma struktural yang sifatnya lebih sistemik, berupa kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi pemerintah atau swasta yang membatasi kesempatan bagi orang dengan gangguan mental. Termasuk di sini adalah pendanaan untuk riset tentang gangguan mental atau layanan kesehatan mental yang cenderung minim dibandingkan dengan perawatan kesehatan lainnya.

Mengapa masyarakat lekat dengan stigma negatif terhadap penderita dan gangguan jiwa?

Disadari atau tidak, masyarakat sudah menempelkan stigma dengan memandang seorang yang menderita gangguan jiwa sebagai orang yang berbahaya yang mengidap penyakit terkutuk dan bisa mengamuk kapan saja sehingga berpotensi mengganggu ketertiban umum. Untuk itu, tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan pemasungan dan mengucilkannya dari kehidupan masyarakat. Meskipun stop pemasungan dan ajakan memanusiawikan orang dengan gangguan jiwa gencar dikampanyekan, tindakan pengekangan tersebut masih sering dilakukan pada penderitanya sebagai cara mengatasi amukan dan bukan dengan mengobati.

Mengapa masyarakat berstigma dan bertindak seperti itu terhadap orang dengan gangguan jiwa? 

Dari beberapa referensi dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar dari tindakan tersebut adalah, antara lain, ketidaktahuan atau minimnya informasi tentang gangguan jiwa, baik di kalangan masyarakat atau penderita sendiri. Akibatnya, timbul tuduhan dan prasangka yang melenceng jauh dan perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap penderita sakit fisik dan sakit psikis atau gangguan jiwa, atau sikap diskriminatif penderita sendiri terhadap penyakit yang diderita dan proses pengobatannya. Penderita malu untuk berobat ke rumah sakit jiwa karena terkuasai stigma bahwa penyakit ini adalah kutukan dan memalukan atau tidak ingin masyarakat tahu tentang hal itu. Mereka justru berobat ke dukun atau orang pintar yang kemudian membekali air tawar untuk diminum, bukan ke psikiater yang memiliki wewenang untuk memberi obat yang dapat menetralisir produksi hormon yang memengaruhi emosi dan suasana hati. Padahal, zaman dan dunia kedokteran kini sudah berkembang pesat, termasuk dunia psikiatri. Gangguan jiwa berprospek baik dan dapat disembuhkan dengan medikasi dan terapi. Pusat rehabilitasi dan layanan terhadap orang dengan gangguan jiwa juga semakin membaik dan lengkap. Di sini, stigma, yang mengakibatkan penolakan, penyangkalan, dan penyisihan oleh masyarakat sekitar, turut menyumbang pada semakin memburuknya keadaan yang dialami penderita gangguan jiwa. Hal ini tentu saja merugikan penerima stigma dan juga keluarga dan orang di sekitarnya. 

Dampak stigma

Konsekuensi yang ditimbulkan oleh stigma adalah sesuatu yang serius dan berpotensi menghancurkan karena memicu ketakutan, kemarahan serta intoleransi yang ditujukan untuk orang lain. Norma sosial di dalam sebuah kultur turut mendorong terciptanya efek stigma yang berkepanjangan. Kurangnya informasi yang akurat tentang kelompok yang dikenai stigma seringkali berkontribusi dalam terbentuknya stereotipe negatif.

Disimpulkan dari beberapa rujukan, stigma memberikan dampak serius yang pada akhirnya dapat menghancurkan hidup penderita gangguan jiwa. Beberapa di antaranya adalah:

1.    Keengganan untuk mencari pengobatan, sehingga semakin memperburuk kondisi.
2.    Pengobatan yang tertunda yang berefek pada peningkatan kematian.
3.    Penolakan, penghindaran, dan isolasi atas penderita dari lingkungan sosialnya.
4.    Kesejahteraan psikologi yang lebih buruk.
5.    Pelecehan, penindasan dan kekerasan dari masyarakat.
6.    Kualitas hidup yang buruk, kecacatan serta adanya peningkatan beban sosial ekonomi.

Mengatasi Stigma

Stigma menjadi salah satu faktor yang turut memengaruhi kesehatan mental dan kualitas hidup individu secara keseluruhan. Mengatasi stigma bukan perkara mudah dan sederhana, tetapi niat dan usaha baik tetap harus dilakukan, dalam skala kecil sekalipun. Memulai dari diri sendiri, keluarga, komunitas, dan masyarakat luas kiranya adalah langkah yang bijak yang dapat kita lakukan bersama, seperti:

1. Mengedukasi diri, baik penderita maupun bukan penderita, dengan mencari pengetahuan dan informasi akurat tentang gangguan jiwa sehingga memiliki pemahaman yang lengkap dan menyeluruh. Berbagi dengan orang lain tentang pengalaman hidup dengan stigma adalah hal yang positif dan turut meluaskan wawasan mereka tentang stigma dan gangguan jiwa. 

2. Menanamkan pemahaman dan kesadaran bahwa stigma bukanlah kebenaran, seringkali bias, dan tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya. Stigma hanyalah penilaian sosial, bukan fakta objektif dan tidak menjelaskan dengan sempurna siapa diri kita dan seperti apa kualitas hidup kita.

3. Menumbuhkan dan memelihara kecintaan pada keberadaan diri sendiri. Tumbuhkan keyakinan bahwa setiap orang adalah pribadi yang unik dan istimewa sehingga ringan untuk bersikap lebih jujur dan terbuka pada keadaan dan realita. 

4. Tanamkan pemahaman bahwa penyakit yang menyerang mental pada esensinya adalah sama dengan penyakit yang menyerang fisik, bisa diobati dan sembuh, sehingga sikap dan perlakuan terhadap keduanya selayaknya setara, tidak diskriminatif.

Penutup

Sakit fisik atau mental atau keduanya sangat mungkin dialami oleh siapa saja. Bila ada orang mengalami gangguan pada jantungnya, maka hal yang wajar bila ada orang yang mengalami gangguan pada sisi pikiran dan emosinya. Sikap memandang wajar, realistis, objektif, dan keberterimaan diri pada sakit fisik dan sakit psikis adalah hal yang semestinya ada dalam paradigma penderita dan non-penderita sehingga terhindar dari pelekatan stigma atau sikap yang diskriminatif. 

Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dalam proses membangun kesejahteraan psikologis dan kebahagiaan manusia. World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan 10 Oktober sebagai World Mental Health Day atau Hari Kesehatan Mental Dunia untuk mengingatkan kita semua bahwa kesehatan mental adalah isu global. Setiap orang berhak hidup sehat fisik dan mental.

Maka, di bulan kesehatan mental ini, kita mulai saja dari diri sendiri di lingkungan kita untuk lebih memahami gangguan jiwa dan bersikap secara proporsional terhadapnya. Tidaklah adil bila kita menyematkan stigma pada kehidupan seseorang sementara tidak memiliki pengetahuan apapun tentang perjuangan mereka di sana.

*** 

sumber ilustrasi: https://symbolsarchive.com/symbols-of-mental-health/

Kontributor: Ratih Ramelan. Penerjemah lepas buku dan web novel, Penulis lepas antologi, artikel, catatan perjalanan, novel.
Kontak: ratihramelan@gmail.com. 
Blog: https://sekaratih-sekarini.blogspot.com/