Secubit Sakit, Sekulum Senyum, Amboi!
Penulis | : | Simon Hate |
Ukuran | : | 14.5 x 20.5 cm |
Tebal | : | xxvi + 474 hlm. |
ISBN | : | 978-623-5705-21-7 |
Cover | : | Soft cover |
Berat | : | 450 gr |
Buku ini adalah taman sorga jiwa kehidupan manusia, dengan ragam-ragam keindahannya, wujudnya, bentuknya, sistem ungkapnya, style-nya, nuansanya, multi-dimensinya, gelombangnya, dengan keseluruhan kesuciannya.
Kesucian?
Buku ini adalah Hak Asasi Manusimon. Manusimon, artinya, tidak atau bukan sebagaimana Manusia pada umumnya.
Hak bukanlah ‘kebolehan’ atau kemerdekaan untuk melakukan ini itu atau kebebasan untuk begini begitu yang dijamin oleh institusi otoritas dan ilmu yang disepakati di antara ummat manusia. Hak di dalam “Hak Asasi Manusimon” bukanlah sebagaimana yang dimaksudkan oleh pop-slang dan cultural gimmick “Hak Asasi Manusia” yang diterjemahkan dari idiom “Human Right”.
Hak dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “haqq” Bahasa Arab, tetapi diterjemahkan dan dipahami secara ditortif dan disempitkan. Termasuk ketika kemudian dipakai untuk menterjemahkan “Human Right” menjadi “Hak Asasi Manusia”. Secara umum dipahami hak adalah semacam kebolehan, “mubah” atau kehalalan manusia untuk melakukan atau mendapatkan hal-hal tertentu dalam kehidupannya.
“Hak” dengan batas pemahaman seperti itu bukannya salah, melainkan hanya merupakan bagian dari makna “haqq”. “Hak” hanya salah satu output atau outcome dari “haqq”. “Haqq” lengkapnya “haqqun”. Kalau orang bilang “haqqan”, artinya benar-benar. Kalau disebut “haqiqah” atau “haqiqatan” maksudnya sungguh-sungguh: benar pada level dikonfirmasi dengan “sumpah”.
Demikianlah pemaknaan dari Bahasa Arab, yang dipinjam oleh Bahasa Indonesia. Kalau tidak sepakat, Bahasa Indonesia silahkan bikin kosakata sendiri untuk merumuskan maksudnya. Kalau mengambil dari khazanah Bahasa lain, ada ikatan tanggung jawab terhadap orisinalitas sumbernya.
“Haqq” berarti benar sekaligus kebenaran. Haqq asasi manusia tidak sekedar kebenaran yang disandang atau terletak di dalam hakekat eksistensi dan wujud manusia, melainkan lebih dari itu: yakni pada “mengada”nya atau “diadakan”nya. Manusia adalah haqq itu sendiri, yang di dalamnya termuat konteks yang selama ini dimaksudkan oleh “hak asasi manusia”.
Haqq manusia adalah fakta yang paling vital yang dinisbahkan oleh Maha Penciptanya. Ia wujudiyah, esensial, substansial, hakiki dan sejati. Haqq manusia adalah kesejatian. Kesejatian adalah kemurnian. Kemurnian adalah kesucian. Kaum Muslimin mengenal “Idul Fithri”, maksudnya ujung pencapaian lelaku puasa di mana manusia kembali ke asasinya atau kefitriannya atau kesuciannya.
Maka memang haqq itu asasi. Asasiyah. Tanpa dikontaminasi oleh klenik ilmu dan budaya, tanpa diracuni oleh mitologi pengetahuan, merdeka dari gincu kebudayaan, takhayul peradaban, bahkan tidak dikontaminasi oleh takabbur-nya Negara, sistem-sistem dan ideologi-ideologi.
Saya mengenal dan berinteraksi serta berada di dalam hutan rimba bebrayan dengan Simon Hate hampir setengah abad. Dan saya mempersaksikan inilah buku kesucian jiwanya.
*Emha Ainun Nadjib
Secubit Sakit, Sekulum Senyum, Amboi!
Penulis | : | Simon Hate |
Ukuran | : | 14.5 x 20.5 cm |
Tebal | : | xxvi + 474 hlm. |
ISBN | : | 978-623-5705-21-7 |
Cover | : | Soft cover |
Berat | : | 450 gr |
Buku ini adalah taman sorga jiwa kehidupan manusia, dengan ragam-ragam keindahannya, wujudnya, bentuknya, sistem ungkapnya, style-nya, nuansanya, multi-dimensinya, gelombangnya, dengan keseluruhan kesuciannya.
Kesucian?
Buku ini adalah Hak Asasi Manusimon. Manusimon, artinya, tidak atau bukan sebagaimana Manusia pada umumnya.
Hak bukanlah ‘kebolehan’ atau kemerdekaan untuk melakukan ini itu atau kebebasan untuk begini begitu yang dijamin oleh institusi otoritas dan ilmu yang disepakati di antara ummat manusia. Hak di dalam “Hak Asasi Manusimon” bukanlah sebagaimana yang dimaksudkan oleh pop-slang dan cultural gimmick “Hak Asasi Manusia” yang diterjemahkan dari idiom “Human Right”.
Hak dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “haqq” Bahasa Arab, tetapi diterjemahkan dan dipahami secara ditortif dan disempitkan. Termasuk ketika kemudian dipakai untuk menterjemahkan “Human Right” menjadi “Hak Asasi Manusia”. Secara umum dipahami hak adalah semacam kebolehan, “mubah” atau kehalalan manusia untuk melakukan atau mendapatkan hal-hal tertentu dalam kehidupannya.
“Hak” dengan batas pemahaman seperti itu bukannya salah, melainkan hanya merupakan bagian dari makna “haqq”. “Hak” hanya salah satu output atau outcome dari “haqq”. “Haqq” lengkapnya “haqqun”. Kalau orang bilang “haqqan”, artinya benar-benar. Kalau disebut “haqiqah” atau “haqiqatan” maksudnya sungguh-sungguh: benar pada level dikonfirmasi dengan “sumpah”.
Demikianlah pemaknaan dari Bahasa Arab, yang dipinjam oleh Bahasa Indonesia. Kalau tidak sepakat, Bahasa Indonesia silahkan bikin kosakata sendiri untuk merumuskan maksudnya. Kalau mengambil dari khazanah Bahasa lain, ada ikatan tanggung jawab terhadap orisinalitas sumbernya.
“Haqq” berarti benar sekaligus kebenaran. Haqq asasi manusia tidak sekedar kebenaran yang disandang atau terletak di dalam hakekat eksistensi dan wujud manusia, melainkan lebih dari itu: yakni pada “mengada”nya atau “diadakan”nya. Manusia adalah haqq itu sendiri, yang di dalamnya termuat konteks yang selama ini dimaksudkan oleh “hak asasi manusia”.
Haqq manusia adalah fakta yang paling vital yang dinisbahkan oleh Maha Penciptanya. Ia wujudiyah, esensial, substansial, hakiki dan sejati. Haqq manusia adalah kesejatian. Kesejatian adalah kemurnian. Kemurnian adalah kesucian. Kaum Muslimin mengenal “Idul Fithri”, maksudnya ujung pencapaian lelaku puasa di mana manusia kembali ke asasinya atau kefitriannya atau kesuciannya.
Maka memang haqq itu asasi. Asasiyah. Tanpa dikontaminasi oleh klenik ilmu dan budaya, tanpa diracuni oleh mitologi pengetahuan, merdeka dari gincu kebudayaan, takhayul peradaban, bahkan tidak dikontaminasi oleh takabbur-nya Negara, sistem-sistem dan ideologi-ideologi.
Saya mengenal dan berinteraksi serta berada di dalam hutan rimba bebrayan dengan Simon Hate hampir setengah abad. Dan saya mempersaksikan inilah buku kesucian jiwanya.
*Emha Ainun Nadjib