Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya
| Penulis | : | Syamsul Yakin |
| Ukuran | : | 14 x 20 cm |
| Tebal | : | xviii + 133 hlm. |
| ISBN | : | 978-623-6398-01-2 |
| Cover | : | Soft Cover |
| Berat | : | 150 gr |
Milir punya beragam tujuan. Tujuan paling umum adalah untuk mencari penghidupan. Bagi orang Parung Bingung milir itu pergi berdagang ke Jakarta. Mayoritas ke Cikini, Manggarai, dan Tanah Abang (saya sering menulisnya Tenabang). Sejatinya semua orang yang berangkat dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dan seterusnya hingga Papua ke Jakarta adalah para pemilir. Buktinya, setiap Idul Fitri mereka disebut para pemudik. Jadi, milir adalah lawan dari mudik. Di Parung Bingung, milir menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Bahkan mereka ada yang membentuk koloni di tempat milir. Biasanya diawali dengan tugur. Tugur adalah berdagang dengan cara menetap dalam waktu tertentu di satu tempat. Yang dijual para pemilir dari Parung Bingung adalah timun, kacang panjang, pare, terong, nangka, pisang, daun pisang, dan gandul. Pada saat sawah tidak ditanami padi, orang Parung Bingung menanam palawija. Padi ditanam untuk konsumsi sendiri.
Sebelum tanah sawah, rawa, dan balong dijual kepada “Orang Jakarta”, orang Parung Bingung rata-rata petani. Di samping itu, ada yang jadi tengkulak, buruh tani, tukang bangunan, guru, amil, penghulu hingga dukun beranak, dan tukang sembur (tabib). Milir punya beragam tujuan. Tujuan paling umum adalah untuk mencari penghidupan. Bagi orang Parung Bingung milir itu pergi berdagang ke Jakarta. Mayoritas ke Cikini, Manggarai, dan Tanah Abang (saya sering menulisnya Tenabang). Sejatinya semua orang yang berangkat dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dan seterusnya hingga Papua ke Jakarta adalah para pemilir. Buktinya, setiap Idul Fitri mereka disebut para pemudik. Jadi, milir adalah lawan dari mudik.
Di Parung Bingung, milir menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Bahkan mereka ada yang membentuk koloni di tempat milir. Biasanya diawali dengan tugur. Tugur adalah berdagang dengan cara menetap dalam waktu tertentu di satu tempat. Yang dijual para pemilir dari Parung Bingung adalah timun, kacang panjang, pare, terong, nangka, pisang, daun pisang, dan gandul. Pada saat sawah tidak ditanami padi, orang Parung Bingung menanam palawija. Padi ditanam untuk konsumsi sendiri. Sebelum tanah sawah, rawa, dan balong dijual kepada “Orang Jakarta”, orang Parung Bingung rata-rata petani. Di samping itu, ada yang jadi tengkulak, buruh tani, tukang bangunan, guru, amil, penghulu hingga dukun beranak, dan tukang sembur (tabib).
Tulisan berlatar belakang milir dan kehidupan pribadi saya ini sengaja memotret kegiatan ekonomi, agama, dan budaya masyarakat Parung Bingung secara random. Kesimpulan saya, mereka telah memberi teladan dalam ketiga aspek tersebut.
Stok Kosong
Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya
| Penulis | : | Syamsul Yakin |
| Ukuran | : | 14 x 20 cm |
| Tebal | : | xviii + 133 hlm. |
| ISBN | : | 978-623-6398-01-2 |
| Cover | : | Soft Cover |
| Berat | : | 150 gr |
Milir punya beragam tujuan. Tujuan paling umum adalah untuk mencari penghidupan. Bagi orang Parung Bingung milir itu pergi berdagang ke Jakarta. Mayoritas ke Cikini, Manggarai, dan Tanah Abang (saya sering menulisnya Tenabang). Sejatinya semua orang yang berangkat dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dan seterusnya hingga Papua ke Jakarta adalah para pemilir. Buktinya, setiap Idul Fitri mereka disebut para pemudik. Jadi, milir adalah lawan dari mudik. Di Parung Bingung, milir menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Bahkan mereka ada yang membentuk koloni di tempat milir. Biasanya diawali dengan tugur. Tugur adalah berdagang dengan cara menetap dalam waktu tertentu di satu tempat. Yang dijual para pemilir dari Parung Bingung adalah timun, kacang panjang, pare, terong, nangka, pisang, daun pisang, dan gandul. Pada saat sawah tidak ditanami padi, orang Parung Bingung menanam palawija. Padi ditanam untuk konsumsi sendiri.
Sebelum tanah sawah, rawa, dan balong dijual kepada “Orang Jakarta”, orang Parung Bingung rata-rata petani. Di samping itu, ada yang jadi tengkulak, buruh tani, tukang bangunan, guru, amil, penghulu hingga dukun beranak, dan tukang sembur (tabib). Milir punya beragam tujuan. Tujuan paling umum adalah untuk mencari penghidupan. Bagi orang Parung Bingung milir itu pergi berdagang ke Jakarta. Mayoritas ke Cikini, Manggarai, dan Tanah Abang (saya sering menulisnya Tenabang). Sejatinya semua orang yang berangkat dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dan seterusnya hingga Papua ke Jakarta adalah para pemilir. Buktinya, setiap Idul Fitri mereka disebut para pemudik. Jadi, milir adalah lawan dari mudik.
Di Parung Bingung, milir menjadi tradisi dari generasi ke generasi. Bahkan mereka ada yang membentuk koloni di tempat milir. Biasanya diawali dengan tugur. Tugur adalah berdagang dengan cara menetap dalam waktu tertentu di satu tempat. Yang dijual para pemilir dari Parung Bingung adalah timun, kacang panjang, pare, terong, nangka, pisang, daun pisang, dan gandul. Pada saat sawah tidak ditanami padi, orang Parung Bingung menanam palawija. Padi ditanam untuk konsumsi sendiri. Sebelum tanah sawah, rawa, dan balong dijual kepada “Orang Jakarta”, orang Parung Bingung rata-rata petani. Di samping itu, ada yang jadi tengkulak, buruh tani, tukang bangunan, guru, amil, penghulu hingga dukun beranak, dan tukang sembur (tabib).
Tulisan berlatar belakang milir dan kehidupan pribadi saya ini sengaja memotret kegiatan ekonomi, agama, dan budaya masyarakat Parung Bingung secara random. Kesimpulan saya, mereka telah memberi teladan dalam ketiga aspek tersebut.
Stok Kosong